Gegara Jokowi, Aku Direpotkan di Bank Swasta

 


Tempat parkir padat, walau tidak penuh. Semakin banyak motor isi dibandingkan mobil. Banyak bangku disiapkan di ruangan nantikan. Siap petugas di pos semasing, menegakkan prosedur kesehatan.

Manfaat Tepung Daun Turi Untuk Ayam Laga

Siang hari ini saya temani ibu membuat rekening. Di bank swasta. Menurut pengalaman, masalah administrasi saya memihak pada mereka.


Sempat, saya buka rekening di bank punya pemerintah. Cuma mendaftarkan rekening lho ya, mengantre sampai empat jam. Anda tidak salah baca, EMPAT JAM. Walau sebenarnya tidak bertambah semua jemari tanganku pengantri saat itu.


Sebenarnya, buruh seperti ibuku tidak membutuhkan rekening. Ingin bagaimana, sebelum singgah ATM, upahnya telah raib dibalik tuntutan hidup.


"Dikarenakan" Jokowi, ibuku harus disibukkan hal rekening ini. Saya juga kecipratan.


Merilis kompas.com, pemerintah membuat Komite Perlakuan Covid-19 serta Pemulihan Ekonomi Nasional berdasar ketentuan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada Senin (20/7/2020) tempo hari.


Erick Thohir sebagai Ketua Pelaksana Komite Perlakuan Covid-19 serta Pemulihan Ekonomi Nasional menjelaskan rangsangan ekonomi yang diberi pemerintah berbentuk dana Rp. 600.000 semasa empat bulan pada pegawai non-PNS serta BUMN yang aktif tercatat di BPJS Ketenagakerjaan dengan pungutan Rp. 150.000 per bulan.


Ibuku masuk persyaratan. Jadi harus membuat rekening atas nama pribadi buat pendistribusian pertolongan. Beberapa tikus gigit jemari.


Yang saya senang dari Jokowi, setelah "mencak-mencak" kapan lalu, ia cekatan membuat taktik nyata untuk kurangi derita rakyat. Walau banyak kekurangan lain Jokowi, seperti manusia umumnya, satu kreditku buatnya. Ia bukan pimpinan omdo (omong doang).


Kembali pada bank swasta. Sejak epidemi saya tidak sempat ke bank. Tanpa hukum yang mewajibkan. Lagi juga transaksi teratasi lewat mesin ATM serta m-banking.


Sekali ini saya mengantarkan ibu, ternyata repot tanpa anggap.

Memercayakan motor dalam tempat parkir, saya serta ibu naiki tangga bangunan bank.


"Namanya siapa mas?... Keperluannya apa?...", ramah si keamanan menginvestigasi. Didaftarnya namaku dalam antrean. Ada dua baris kursi di kiri-kanan muka pintu kaca setelah tangga. (Bangku besi panjang untuk 4 orang, dilapisi busa. Swasta memang beda)


Tertera "maximum 4 nasabah". Bermakna di ruangan nantikan itu cuma dapat memuat delapan orang. Yang lain? Sisa bilik mesin ATM berkonstruksi sisi 8 disulap jadi ruangan nantikan penambahan. Saya serta ibu di posisi ke sembilan, karena itu di ruangan sisi 8 itu kami menanti.


"Silakan nantikan di bawah ya mas, kelak kami panggil", masih ramah. Tidak sampai dua menit, panggilan tiba.


Thermogun disodorkan ke muka, berhasil lolos. Dua petugas kebersihan tegap dibalik pintu kaca membuka pintu, siap-siap dengan SPD (Senjata Pelindung Diri)-nya: semprotan disinfektan serta kanebo.


Keamanan lapis ke-2. "Permisi mas, ada yang dapat dibantu?" Kujelaskan, ingin membuat rekening baru. Barusan nomor antrean beralih tangan, ibuku dihadang. "Yang ingin bertransaksi masnya atau ibunya?" Wah, ingin membuka rekening saja kok diepotkan.


Saya disilahkan isi kursi ruangan nantikan. Wah, genting. Mengapa saya tidak dibolehkan menolong ibu? Mengapa mereka menghalangiku?


Bukan apa-apa, tetapi ibuku buta huruf. Saya tahu mekanisme membuat rekening. Harus isi data diri, tanda-tangan serta banyak. Belum juga membuat nomor PIN. Ibuku mana dapat?


"Ibunya saja yang masuk, mas. Kelak agar dibantu teller-nya. Masnya bisa menanti di luar, kelak jika ada pertanyaan kami panggil."


Ibu tentu kuatir. Ia akan gugup, serta kemungkinan malu sebab buta. Saya turut cemas. Berikut waktunya ibu "sekolah". Setahuku, service mereka baik. Saya tidak perlu cemas pada ibu.


Postingan populer dari blog ini

Kota paling tua yang dulu pernah bertahan di dalam Bumi

A argument is actually percolating amongst the historians

Thai saving laborers that replied to unexpected urgent phone telephone calls coming from Cambodian